Sajadah Panjang Peradilan Agama di Bumi Nusantara
Oleh:
Musthofa, S.H.I., M.H[1]
(Hakim Pengadilan Agama
Bajawa)
A. PENDAHULUAN
“Ada sajadah panjang terbentang, Hamba tunduk dan
rukuk, Hamba sujud tak lepas kening hamba….”. Penggalan
lirik lagu “sajadah panjang” yang dinyanyikan oleh Bimbo sangat tepat untuk
membuka arah manuskrip ini. Melihat sepanjang perjalanan Peradilan Agama ibarat
sajadah panjang terbentang. Kehidupan adalah tempat untuk beribadah. Sebelum
sajadah dikatup, mari kita jalani kehidupan sebagaimana mestinya; menjadikannya
sebagai ladang ibadah. Ibadah dalam konotasi komprehensif. Menjalani kehidupan,
mengerjakan aktivitasnya dengan mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Sajadah
panjang, atau dalam arti sesungguhnya kehidupan dunia tidak akan digelar untuk
kedua kali bagi kita. Selagi kita hidup, selagi sehat, selagi muda,
bersegeralah dan berkonsistenlah untuk menjalankan kehidupan sebagai ibadah.
Peradilan Agama yang saat ini familiar dan menjadi nomenklatur sebagai
bentuk peradilan “Islam” pun memiliki sejarahnya sendiri. Peradilan Agama
memasuki lorong waktu. Berjalan diatas garis takdir di atas bumi nusantara
tidak luput mengalami pasang surut kehidupan. Situasi politik, budaya dan
sosial masyarakat turut memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan
Peradilan Agama di bumi pertiwi. Ditandai dengan lahirnya undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama mendapatkan tempatnya di
jantung hati bumi nusantara. Pengadilan Agama telah menjadi “institusi resmi”
dibawah “asuhan” Departemen Agama dengan segala kekurangannya. Dan semakin
menasbihkan eksistensinya di bawah naungan Mahkamah Agung R.I.
[1] Hakim
angkatan VIII/ PPC Terpadu III, saat ini bertugas di Pengadilan Agama Bajawa.
Komentar
Posting Komentar